PROFIL PESANTREN AL-QODIRI
Al-Qodiri, adalah sebuah nama yang diberikan oleh Pendiri (Abuya KH Achmad Muzakki Syah / Kiai Muzakki) pada tanggal 19 Robi'us Tsani 1397 yang bertepatan dengan tanggal 16 Mei 1976 M (lokasi lama) dan lokasi baru (tahun 1987) untuk sebuah Pondok Pesantren yang bertujuan menjadi sebuah lembaga yang dibangun atas dasar komitmen yang kokoh sebagai sentral pencerahan aqidah, penguatan syari'ah dan pemantapan akhlaqul karimah. Pada tahun yang sama pula, Pondok Pesantren Al-Qodiri resmi berbadan Hukum dengan dibentuknya Yayasan Pondok Pesantren Al-Qodiri.
Yayasan Pesantren Al-Qodiri mempuanyai Visi Mencetak insan yang religius, cerdas, berakhlaqul karimah, mandiri dan kompetitif dan Misi mendidik santri agar memiliki kekokohan akidah, kedalaman spiritual, keluasan ilmu dan ketrampilan serta keluhuran budi pekerti, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kesenian yang bernafaskan Islami, mengembangkan manajemen pesantren terpadu di level nasional maupun internasional, memberikan pelayanan terbaik dan keteladanan atas dasar nilai-nilai islam yang inklusif dan humanis, serta mengembangkan kemitraan dengan institusi lain baik regional maupun internasional.
Sejarah Pesantren Al-Qodiri ini bermula dari pulangnya Kiai Muzakki dari bertapa di gua Payudan Madura tahun 1973, Kiai Muzakki Syah kembali lagi ke Gebang Poreng bertemu keluarga dan sanak familinya. Bagi istri dan putranya yang saat itu sudah berumur tiga tahun, kedatangan Kiai Muzakki disambut dengan kegembiraan dan keharuan yang tiada tara. betapa tidak, sejak kepergiaannya di tahun 1971, putranya yang kala itu masih berumur setahun, kini sudah menjadi anak mungil dan lucu.
Hampir dua bulan Kiai Muzakki mengamati perkembangan kondisi sosial keagamaan masyarakat Gebang Poreng. Baginya keberadaan Gebang Poreng waktu itu masih tidak berbeda dengan dua tahun sebelumnya, masih sepi suara adzan, masih jarang yang mendirikan sholat, yang marak justru pencurian, perampokan, judi dan berbagai bentuk mungkarat lainnya, yang ada waktu itu hanya sebuah mushalla kecil di pojok dusun yang konon mengajarkan agama sejati [agama eling] di bawah pimpinan bapak Astumi. Gebang Poreng masih tetap seperti dulu, belum ada listrik, gelap segelap hati masyarakatnya.
Realitas ummat yang memprihatinkan tersebut, mendorong Kiai Muzakki mendirikan sebuah musholla walau amat sederhana dan terbuat dari gedek, dalam pandangan kiai Muzakki, sesungguhnya yang essensial dari sebuah mushalla atau masjid bukan bangunan fisiknya, melainkan efektifitas fungsinya sebagai pusat peribadatan dan da'wah, pusat aktifitas agama, pusat pembinaan ummat, pusat pengokoh ukhuwah islamiyah, sarana perjuangan, pusat syi'ar, ta'lim, ta'dzib dan tarbiyah, pusat pertemuan dan pusat kegiatan sosial.
Sebagai upaya memakmurkan musholla yang telah didirikannya itu, kyai Muzakki mulai istiqomah memimpin sholat maktubah secara berjama'ah dengan anggota keluarganya, sanak famili dan tetangga dekatnya, dan bersama mereka pula, setiap ba'da maghrib Kyai Muzakki mengajar anak-anak kecil membaca al-Qur'an, setiap ba'da isya' membaca dzikir manaqib syaikh Abdul Qodir Jailani, dan setiap ba'da subuh membaca tafsir surat yasin.
Semakin hari, masyarakat yang berjamaah di musholla tersebut terus bertambah, bahkan ada dua orang santri yang menetap di musholla itu sebagai muadzzin yang kemudian dibuatkan gubuk oleh Kyai Muzakki sebagai tempat menginap mereka, menurut keterangan KH. Ridlwan, sejak berdirinya musholla itu, nuansa keagamaan di Gebang Poreng sedikit demi sedikit mulai menggeliat, gema adzan dan dzikir puji-pujian mulai membahana di setiap waktu menjelang sholat maktubah.
Sekitar tahun 1976 berawal dari pertemuannya dengan Ust. Abdullah Jailani sahabat karibnya yang terkenal pandai baca kitab kuning ketika masih nyantri di Al-Fatah dulu, keinginan Kyai Muzakki untuk mendirikan pondok pesantren semakin mantap, diajaklah temannya itu untuk tinggal bersamanya di Gebang guna bersama-sama membina dan membesarkan pesantren yang hendak dibangunnya itu. Selang beberapa hari setelah Ust. Abdullah Jailani menyetujui ajakan Kyai Muzakki, maka pada tanggal 19 Robi'us Tsani 1397 H. bertepatan dengan tanggal 16 Mei 1976 didirikanlah bangunan pesantren di atas tanah seluas 5000 M. yang kemudian diberi nama "Pondok Pesantren Al-Qodiri" Jember.
Pemberian nama al-Qodiri menurut Ust. Abdullah Jaelani (wakil Pengasuh Pertama) didasarkan pada beberapa hal, pertama disandarkan pada asma Allah "al-Qaadir" yang berarti dzat yang maha kuasa di atas segala-galanya. Penyandaran kepada asma Allah tersebut dimaksudkan agar kuasa Allah terpusat di lembaga ini sehingga seluruh tamu yang datang, para santri, jama'ah, atau siapapun yang datang, ke al-Qodiri dikabulkan semua hajatnya, sebab Allah maha kuasa atas segala sesuatu termasuk mengabulkan hajat-hajat mereka.
Kedua, nama Al-Qodiri disandarkan pada nama besar Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, sebab sejak Kiai Muzakki masih dalam kandungan, abahnya (Kiai Syaha) telah mengistiqomahkan dzikir manaqib Syaikh Abdul Qodir Jailani untuknya, juga Kiai Muzakki sejak usia kelas 2 Sd sudah mengamalkan dzikir manaqib yang sama, penyandaran kepada nama Syaikh Abdul Qodir Jailani, dimaksudkan agar lembaga ini kelak mendapat siraman karomah sebesar karomahnya Syaikh Abdul Qodir Jailani.
Ketiga, penamaan tersebut didasarkan pada hasil intikharah dan petunjuk ghaib yang diterima jauh sebelumnya oleh KH. Achmad Muzakki Syah sendiri.
Menurut cerita H. Nurul Yaqin, suatu sore di tahun 1974, ketika selesai memimpin sholat asyar, Kiai Muzakki memanggil salah seorang jama'ahnya yang bernama Pusakah (asal Tempurejo) untuk memijatnya, sambil dipijat beliau bilang pada Pusakah "toraeh yah, sengkok pagik maddiggah pesantren se bakal ekennenggih ebuan santri lake' bini' dari mandimman, bi' senkok pesantren jariyah enyamaannah al-Qodiri (perhatikan ya, saya nanti akan mendirikan pesantren yang akan dihuni ribuan santri putra-putri yang berasal dari berbagai tempat, pesantren itu akan saya beri nama "al-Qodiri")